Cerpen Tentang kasih Sayang
Kasih
Sayang Ibuku
“Eh,
kamu udah pulang nak”. Ucap ibu ku pada ku yang baru saja membuka pintu rumah.
“Udah bu”, jawab ku singkat. Aku segera menuju kamar untuk mengganti pakaian. Setelah
selesai berganti pakaian, aku langsung menuju meja makan. “Kamu udah laper ya?”
tanya ibu ku yang sedang memegang mangkok besar berisi sayur asam. Aku
sebenarnya kurang suka dengan sayur asam, tapi mau bagaimana lagi. “Makan yang
banyak ya, kamu masih ada dimasa pertumbuhan. Jangan diet. Ngapainlah itu diet.
Lagian kamu punya sakit maag. Lebih baik begini” ucap ibu ku sambil melihat
tubuhku yang berisi dan pendek.
Selesai
makan aku langsung masuk ke kamar. Dengan malas aku kerjakan tugas-tugas sekolah,
daripada semakin menumpuk. Ibuku masuk dan berkata “Oh lagi ngerjain tugas.
Kalau capek, jangan maksain. Istirahat dulu.”. “Ya bu” ucapku singkat sambil
memandang tugas-tugasku. Ku dengar ibuku melangkah menjauh menuju pintu dan
kudengar pintu kamarku di tutup.
Entah
berapa lama aku mengerjakan tugas, tiba-tiba tenggorokanku terasa tidak enak.
Badanku pun tidak enak. Aku merasa agak pusing. Jadi ku putuskan untuk
beristirahat sebentar. Aku harap badanku segera segar kembali.
“Kak.
Kakak.” Ketika aku membuka mata, aku melihat adik ku disebelahku. Ternyata
sedari tadi dia berusaha untuk membangunkanku. “Kak, kakak sakit ya? Ini
badannya panas.” Ucap adikku. “Gak tau nih dik, kakak sakit badan nih.”
Ucapku. Aku bangun dari tempat tidurku
dan melihat tugasku yang belum selesai. Masih banyak dan berantakan. Aku hanya
menghela nafas. Aku dan adikku berjalan menuju meja makan. Aku melihat ayahku
membaca koran di sofa dekat meja makan. Lalu aku mengalihkan pandanganku kepada
ibu. Ibu ternyata sudah melihatku duluan. “Besok kamu gak usah sekolah ya.
Nanti surat sakitnya ayah yang antar ke sekolah.” ucap ibu ku. “Ya bu” jawab ku
singkat. Aku tidak bisa menolak karena aku benar-benar sakit.
Selesai
makan aku langsung pergi ke kamarku. Ibu ku menyusul. “Besok kita ke dokter ya,
berobat”. Ucap ibuku sambil memegang dahiku. Aku hanya mengangguk. Aku naik ke
tempat tidurku dan tidur. Entah jam berapa aku tidak tahu, tiba-tiba aku batuk
dengan hebatnya. Aku segera mengambil minum ke dapur. Ibu ku datang dan
bertanya “Kenapa kamu?”. Setelah selesai minum aku menjawab, “Tenggorokkanku
tiba-tiba gatal”. Setelah itu, ibuku menyuruhku untuk kembali ke kamar. Aku
kembali dan ternyata ibuku membawakan segelas air hangat untukku. “makasih bu”
ucapku pada ibu. Ibuku hanya memandangiku.
Keesokkan
harinya setelah aku diperiksa, ibu ku berkata ”Makanya, kamu tuh jangan jajan
sembarangan, jangan terlalu diporsir kalau belajar. Biasa aja. Ibu gak pernah
nuntut kamu buat jadi juara kan? Ibu hanya berharap kamu menjalani pendidikan
kamu dengan baik. Jadi anak yang baik. Gak malu-maluin orang tua.”. aku hanya
mendengar ucapan ibuku tanpa melihat kearahnya. Aku hanya memandang lantai
rumah sakit yang putih bersih.
Setelah
sampai di rumah, aku langsung menuju kamar. Aku beralasan kalau aku ingin
kembali beristirahat. Padahal setelah aku menutup pintu, aku menangis terharu
dengan ucapan ibu ku. Ibu ku memang tidak pernah menuntut apa-apa dari ku. aku
mengintip dari pintu kamar ku. aku melihat ibu ku yang menghela nafas panjang
sembari membereskan dapur. Kata-kata ibu ku sederhana. Tapi entah kenapa sangat
dalam rasanya bagiku. Ketika semalam aku bangun karena terbatuk, ibuku datang
menghampiri ku, aku melihatnya memakai sandal yang berbeda kanan dan kirinya.
Ia memakai sendal ayahku di sebelah kiri. Ibuku tidak menyadarinya.
Aku
menangis di dekat pintu kamarku. Tiba-tiba ibu ku datang dan terkejut karena
melihat aku menangis. Aku hanya melihat wajahnya tanpa berkata apa-apa. “Astaga
kamu kenapa lagi?” tanya ibu ku yang berjongkok di depanku. Dengan susah payah
aku berkata, “Makasih bu”. Ibuku yang mendengarnya hanya diam memandangku
dengan heran. Lalu ibuku memelukku dan berkata “Iya nak, jangan nangis lagi.
kamu kan udah besar”. Aku tidak peduli mau berapapun umurku, aku ingin
menangis. Aku ingin seperti ini. Aku menyayangi ibu.
0 komentar:
Posting Komentar